Senin, 19 Maret 2012

ANALISIS STRUKTURAL SEMIOTIK PUISI PEMBAWA MATAHARI KARYA ABDUL HADI W.M.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
           Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisis keindahan. Tanpa penciptaan, karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra merupakan refleksi rasa dan karsa berarti bahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan perasaan yang di dalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini membuat karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan cabang seni lain, baik dalam bentuk maupun sarana/media yang digunakan, yaitu kata-kata atau bahasa (Suroso, 1995:14). Sumardjo (1991:7) mengemukakan bahwa keindahan dalam sastra terjadi karena adanya keselarasan bahasa atau kata-kata yang digunakan. Dengan demikian, keindahan dalam karya sastra pada hakikatnya adalah wujud dari keselarasan perasaan dan pikiran yang dinyatakan dengan kata-kata atau bahasa yang tepat.
            Pradopo (1995:72) juga mengemukakan bahwa karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Berbeda dengan seni lain, misalnya seni musik, dan seni lukis yang mediumnya netral, dalam arti, belum mempunyai arti, satra (seni sastra) mediumnya (bahasa) sudah mempunyai arti, mempunyai sistem dan konvensi. Bahasa sastra adalah bahasa yang sudah mempunyai arti. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalm hubungannya dengan sastra, bahasa sastra sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri yang mempergunakan bahasa yang disebut sistem semiotik tingkat kedua.
            Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa dan makna (significance) untuk arti sastra. Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya. Apapun rumusan dan pengertian tentang sastra, bahasa tetap merupakan medium sastra yang tidak dapat diabaikan.
            Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengamatan terhadap bahasa ini pasti mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya (Sudjiman, 1993:vii).
            Pradopo (1993:vi) lebih khusus mengacu kepada puisi yang mempunyai sifat, struktur, dan konvensi-konvensi sendiri. Oleh karena itu untuk memahaminya perlu dimengerti dan dipelajari konvensi-konvensi dan struktur puisi tersebut.
           Aminuddin dalam Nurhadi (1978:90) mengungkapkan bahwa apabila dalam komunikasi lisan keseharian penutur lazimnya mengutamakan kejelasan isi tuturan, dalam komunikasi sastra isi tuturan justru disampaikan secara terselubung. Untuk mempertegas pernyataan tersebut, Aminuddin mengutip prndapat penyair Abdul Hadi yaitu “Puisi harus berkomunikasi secara tidak langsung dengan pembaca, karena puisi bukan percakapan sehari-hari, melainkan percakapan batin”.
      Pemahaman terhadap karya sastra tidak cukup diprasyarati oleh penguasaan kode bahasa saja, tetapi juga kode sastra di samping harus disertai usaha secara sadar, sikap kritis dan kesungguhan hati (Nurgiyantoro, 1994:342). Analisis terhadap karya sastra (termasuk puisi) bertujuan agar karya sastra itu dapat dipahami lebih baik sehingga dapat dinikmati lebih intens serta ditarik manfaatnya dalam memahami hidup ini (Sudjiman, 1993:1).
            Puisi adalah salah satu jenis sastra. Seringkali istilah puisi disamakan dengan sajak. Akan tetapi, sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahsa Inggrisnya puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individunya sastranya (sajak).
            Memahami makna pusis tidaklah mudah, lebih-lebih pada waktu sekarang, puisi makin kompleks dan aneh. Jenis puisi lain dari jenis prosa. Prosa tampaknya lebih mudah dipahami maknanya daripada puisi. Hal ini disebabkan oleh bahasa prosa merupakan ucapan “biasa”, sedangkan puisi merupakan ucapan yang “tidak biasa”. Biasanya prosa mengikuti atau sesuai dengan struktur bahasa normatif sedangakan puisi biasanya menyimpang dari tata bahasa normatif.
            Pengertian pemaknaan puisi atau pemberian makna puisi berhubungan dengan teori sastra masa kini yang lebih memberikan perhatian kepada pembaca dari lainnya. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi, pemberian makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda).
            Untuk memahami puisi dan memberi makna puisi tidaklah mudah tanpa mengerti konvensi sastra, khususnya konvensi puisi. Puisi merupakan karya seni yang bermedium bahasa. Puisi harus dipahami sebagai sistem tanda (semiotik) yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Medium puisi adalah bahasa yang sudah mempunyai arti sebagai bahan puisi. Oleh karena itu, bahasa disebut sebagai sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna bahasa disebut arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa. Dalam karya sastra bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama ditingkatkan derajatnya menjadi sistem tanda tingkat kedua, maka artinya pun ditentukan oleh konvensi sastra, menjadi arti sastra. Arti sastra adalah arti dari arti (meaning of meaning) atau makna (significance). Oleh karena itu, untuk memberi makna puisi haruslah diketahui konvensi puisi tersebut. Diantara konvensi puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung (Preminger dkk., 1974:980-981).
            Puisi merupakan sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra merupakan hal-hal saling terikat dan saling bergantung.
            Puisi juga merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami puisi haruslah menganalisis puisi tersebut. Dalam menganalisis puisi, bagian itu haruslah dipahami sebagai bagian bagian dari keseluruhan. Seperti dikemukakan di atas, puisi merupakan susunan keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling berkaitan erat dan saling menentukan maknanya. Unsur-unsur struktur puisi itu koheren atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu akan mendapat artinya (Culler, 1977:170). Jadi, untuk memahami puisi haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.
Menganalisis puisi bertujuan memahami makna puisi. Menganalisis puisi merupakan usaha menangkap dan memberi makna kepada teks puisi. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya satra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Bahasa merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Semiotik adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Apabila studi tentang tanda ini berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lainnya, pada caranya bekerja sama dalam menjalankan bunyinya, itu adalaha kerja dalam fonologi semiotik. Apabila studi ini menonjolkan tanda-tanda dengan pembentukan kata-katanya yang dihasilkan, itu adalah kerja morfologi semiotik. Apabila studi dihubungkan dengan caranya bekerja sama dalam menjalankan fungsinya, itu adalah kerja dalam sintaks semiotik. Apabila studi ini menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dengan interprtasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantik semiotik. Apabila studi tentang tanda ini mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimaannya, itu adalah kerja pragmatik semiotik.
Ferdinand de Saussure dalam bukunya Cours de Linguistique Generale mengemukakan bahwa pengertian dasar linguitik yang bertolak pada pemikiran dua dimensi. Pengertiannya selalu berupa pasangan yang berlawanan, yakni dikotomi antara langue dan parole, signifiant dan signifie serta sintagma dan paradigm. Buku ini dianggap sebagai permulaan dari linguistic strukturalis.
Sumbangan de Saussure bagi semiologi pertama-tama adalah penekanan pentingnya suatu ilmu tanda yang tercantum dalam bukunya yang mengatakan bahwa “… linguistik hanya merupakan bagiam ilmu umum. Aturan-aturan yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan pada linguistic. Dengan demikian, linguistik akan menjadi suatu bidang khusus yang termasuk dalam keseluruhan hubungan social”( de Saussure dalam Sudjiman, 1992:56).
Atas dasar inilah, maka penulis menganalisis puisi dengan menggunakan teori-teori yang bersumber pada linguistik. Teori-teori tersebut meliputi aspek-aspek sintaksis, aspek semantik dan pragmatik.
Penelitian tentang analisis struktural-semiotik yang menggunakan aspek-aspek linguistik seperti sintaksis, semantik dan pragmatik terhadap puisi di Indonesia jarang dibentangkan baik dalam karya tulis berupa makalah, buku ataupun dalam karya ilmiah yang lebih kompleks dan terfokus. Sepengetahuan penulis, analisis aspek-aspek linguistik terhadap puisi pernah juga disinggung dalam penelitian Nurhayati yang berjudul Kajian Stilistika dalam Puisi Rendra (1995) dan penelitian Shita Dewi Ratih Permatasari yang berjudul Tema Kesedihan dalam Sajak “Priangan Si Jelita” karya Ramadhan K.H. (2001).
Dalam penelitian Nurhayati, kajian stilistika yang dilakukan dalam menganalisis puisi-puisi Rendra melibatkan ciri-ciri linguistik dan ciri-ciri kesastraan memasukkan kajian terhadap struktur batin puisi karena pada hakikatnya sebuah pisi terdiri atas struktur fisik (fokus kajian stilistik) dan struktur batin. Dengan demikian, penelitian ini meliputi kajian terhadap unsur-unsur penerimaan, linguistik, diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif dan struktur batin yang diserap melalui tema, perasaan, nada dan amanat. Dari hasil penelitian terhadap puisi-puisi Rendra dapat disimpulkan bahwa kajian linguistik dan kesastraan saling menunjang dalam menafsirkan dan memahami puisi-puisi Rendra.
Penelitian Shita Dewi Ratih Permatasari menggunakan pendekatan struktural dalam menganalisis aspek-aspek linguistik yang meliputi aspek irama, bunyi, sintaksis, semantik, dan isotopi puisi-puisi Ramadhan K.H menghasilkan bahwa puisi-puisi tersebut mengandung tema kesedihan. Judul kumpulan sajak Priangan Si Jelita yang terkesan indah tersebut ternyata berlawanan makna dengan sajak-sajak yang terkandung di dalamnya.
Penyair Abdul Hadi adalah penyair penting sesudah generasi Taufiq Ismail. Rendra pernah menyatakan bahwa penyair berbakat besar sesudah Taufiq Ismail adalah Abdul Hadi W.M. dan Sutardji Calzoum Bachri. Kemudian memang terbukti bahwa kedua tokoh itu memberi warna pada perkembangan puisi Indonesia sekitar tahun 1970-an. Abdul Hadi dengan puisi konvensional dengan gaya remang-remang yang kemudian berkembang sangat pesat pada dekade 1970-an. Sudah banyak kumpulan puisi yang diciptakannya, salah satu adalah sajaknya yang berjudul Madura yang mendapat pujian dari redaksi Horison sebagai sajak yang baik yang dimuat di majalah tersebut tahun 1968. Wajarlah jika sajak ini mendapat penghargaan karena kelembutan bahasa dan lukisan yang detil tentang tanah kelahirannya menyebabkan puisi Abdul Hadi ini terasa sangat plastik Puisi-puisi karya Abdul Hadi termasuk dalam angkatan 66 yang mempunyai ciri-ciri antara lain :
a.   Bergaya mantra menggunakan sarana kepuitisan berupa: ulangan kata, frasa, atau kalimat.
b.      Asosiasi bunyi banyak dipergunakan untuk memperoleh makna yang baru;
c.      Puisi-puisi imajisme banyak ditulis; dalam puisi ini banyak digunakan kiasan, alegori ataupun parable dan sebagainya;
d.  Banyak kata-kata khas yang digunakan untuk menguntuk lawan, seperti; reformis, kapitalis birokrat, subversi, kezaliman, keadilan dan sebagainya, kebenaran yang mereka suarakan lewat puisi-puisi ini adalah kebenaran versi mereka (Waluyo, 1987:62-64).


B. Fokus dan Subfokus Penelitian
1.      Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah struktur semiotik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M.

2.      Subfokus Penelitian
Subfokus yang akan dibahas dalam penelitian ini, sebagai berikut.
a.  Aspek fonologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi penggunaan/peranan bunyi dan perulangan bunyi (rima/ritme).
b.      Aspek morfologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi imbuhan dan pembentukan kata.
c.      Aspek sintaksis puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi struktur, jenis kalimat dan fungsi-fungsi gramatikalnya.
d.      Aspek semantik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi isotopi-isotopi yang menghasilkan motif-motif sehingga menimbulkan tema puisi.
e.      Aspek pragmatik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi siapa yang berujar, penerima ujaran dan apa yang diujarkan.

C.  Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
1.  Perumusan Masalah
Masalah dalam penelitian adalah bagaimanakah analisis struktural-semiotik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M.

2.  Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian yang diteliti dapat dirumuskan secara rinci sebagai berikut.
a.       Bagaimanakah  aspek fonologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi penggunaan/peranan bunyi, dan perulangan bunyi (rima/ritme)?
b.      Bagaimanakah aspek morfologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M yang meliputi imbuhan dan pembentukan kata?
c.       Bagaimanakah aspek sintaksis puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi struktur, jenis kalimat dan fungsi-fungsi gramatikal?
d.      Bagaimanakah aspek semantik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi isotopi-isotopi yang menghasilkan motif-motif sehingga menimbulkan tema puisi?
e.       Bagaimanakah aspek pragmatik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi siapa yang berujar, penerima ujaran dan apa yang diujarkan?


D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengajaran sastra khususnya puisi untuk digunakan sebagai model analisis dengan menggunakan analisis struktural-semiotik yang meliputi aspek fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik.


BAB II

                                 TINJAUAN PUSTAKA



A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus Penelitian
1. Deskripsi Konseptual Fokus Penelitian
1.1 Struktural dan Semiotik
1.1.1 Strukturalisme
            Teori strukturalisme dalam sastra merupakan sebuah teori yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalin-menjalin, terstruktur sehingga tidak ada satu unsurpun yang tidak fungsional dalam keseluruhannya. Oleh karena itu, karya sastra ditentukan oleh koheren tidaknya unsur-unsur karya tersebut (Atmazaki, 1990:10). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Semi (1984:44-45) bahwa strukturalisme membatasi dari penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Karya sastra dipandang sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk mengahsilkan karya sastra yang bermutu. Hal ini juga diungkapkan oleh Teeuw (1984:135-136) bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam keterkaiatan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Pendekatan struktural sering disebut juga dengan pendekatan objektif (Semi, 1984:44-45). Karya sastra mempunyai sesuatu kebulatan makna yang merupakan akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi instrinsik atau dari dalam karya itu sendiri. Karya sastra dilihat dari unsur yang membangun dirinya sehingga menjadi satu kebulatan makna. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi menjadikan karya sastra sebagai karya yang bernilai tinggi.
      Munculnya minat pakar sastra untuk meneliti karya sastra sebagai suatu struktue dimulai sejak Ferdinand de Saussure, seorang sarjana bangsa Swiss, memperkenalkan struktural di bidang linguistik pada awal abad ke-20 (Atmazaki, 1990:52). Beliau adalah tokoh linguistik yang mengilhami munculnya teori struktural dalam berbagai ilmu bahasa, antropologi, sastra dan lain-lain. Teori strukturalisme di Indonesia boleh dikatakan masih baru, muncul sekitar tahun 1975. Secara nyata teori ini diperkenalkan tahun 1978 pada penataran kesusastraan yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pradopo, 1991:3). Teori ini perlu dikembangkan karena memiliki kemampuan besar untuk menganalisis atau mengkritik karya sastra sehingga dapat diperoleh makna karya sastra secara maksimal.
   Pendekatan struktural memang merupakan pendekatan yang populer dan seringkali digunakan para penelaah sastra. Pendekatan ini mencoba melihat sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya. Kesalahan yang kecil sekalipun tidak dapat luput dari pengamatan pembaca karena analisis ini bersifat abjektif yang banyak memberikan umpan balik kepada penulis atau penyair, dan dapat untuk mendorong penulis untuk lebih berhati-hati.
      Akan tetapi analisis berdasarkan teori strukturalisme murni, yaitu yang hanya menekankan otonomi karya sastra mempunyai keberatan juga. Ditunjukkan oleh Teeuw (1994:135-140). Kelemahan pokok analisis strukturalisme murni adalah 1) melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra, 2) mengasingkan karya sastra dari rangka sosial budayanya. Hal ini disebabkan analisis struktural itu tidak diperkenankan keluar dari struktur sebab sebuah struktur itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur, padahal karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi kesejarahannya dan kerangka sosial budayanya. Di samping itu peranan pembaca sebagai pemberi makna dalam interpretasi karya sastra tidak dapat diabaikan. Sebab tanpa aktivitas pembaca karya sastra tidak mempunyai makna. Struktur di sini dalam arti karya sastra itu menentukan.

1.1.2 Semiotik
            Dari segi istilah, semiotik berasal dari istilah Yunani kuno “semeion” yang berarti tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekpresi. Pendekatan semiotik pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan objektif atau pendekatan struktural, yaitu penelaahan sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, tanpa ada yang dianggap penting, serta melihat suatu karya sebagai suatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri, sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya (Semi, 1984:45, dan Zoest 1993:1). Pendekatan semiotik melihat sistem itu jauh lebih luas, segala unsur yang ada dalam suatu karya sastra masuk dalam sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem. Suatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Dengan demikian, ada tiga unsur yang menentukan tanda: 1) tanda yang dapat ditangkap itu sendiri, 2) yang ditunjukkan, 3) dan tanda baru dalam benak si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditunjukkan terdapat relasi: tanda mempunyai sifat representatif. Tanda dan representatif mengarahkan pada interpretasi: tanda mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representatif dan interpretatif merupakan ciri khas tanda (Zoest van Aart, 1993:4-15).
Pendapat di atas diperkuat oleh Pradopo (1995:119-120) dan Sudjiman (1990:5) yang menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanada itu yaitu artinya.
Untuk memperkuat pemahaman mengenai semiotik berikut ini akan dituliskan beberapa pendapat dari ahli mengenai semiotik yaitu Morris (1946) yang dikutip oleh Depdikbud (1996:3) bahwa semiotik adalah ilmu mengenai tanda, baik itu bersifat manusiawi maupun hewani, berhubungan bahasa tersebut atau tidak, bersifat wajar atau tidak atau kebenaran atau kekeliruan, bersifat sesuai atau tidak, bersifat wajar atau tidak atau mengandung unsur yang dibuat-buat. Demikian juga Klaus Buhr (1972) yang dikutip oleh Depdikbud (1996:3) bahwa semiotik merupakan teori umum mengenai tanda bahasa. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, semiotik tidak meneliti tanda-tanda yang konkrit dalam suatu bahasa tertentu, melainkan meneliti ilmu bahasa umum. Semua pengetahuan pada akhirnya merupakan suatu pengetahuan yang bersifat sosial dengan syarat media yang digunakan dalam tukar-menukar informasi, dan lain sebagainya dapat ditentukan secara bebas. Media yang dimaksudkan di sini adalah tanda bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Bahasa puisi merupakan tanda. Tanda itu mempunyai arti dan arti itu ditentukan oleh konvensi-konvensinya. Tanda terdapat di mana-mana kata juga merupakan suatu “tanda”, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya (Sudjiman dan Aart, 1994:vii).
Karena juga mempelajari hubungan antara penanda dan petanda maka linguistik atau ilmu bahasa termasuk semiotik. Tanda tersebut tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa macam berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 1995:120 dan Zoest, 1993:74-85).
Ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan tersebut adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sehingga penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Ikon masih juga dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu ikon tipologis kemiripan yang tampak di sini adalah kemiripan relasional, maksudnya di dalam tanda tampak juga hubungan antara unsur yang diacu, contoh  susunan kata dalam kalimat. Berikutnya adalah ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kem iripan antara tanda yang sama, contoh kancil misalnya mempunyai acuan binatang kancil dan sekaligus melambangakan kecerdikan. Tanda-tanda ikon dalam teks sastra harus diuraikan lebih jauh, lebih panjang lebar, tanda-tanda ini memegang peranan penting dalam sastra (Zoest, 1993:83). Anggapan tersebut melibatkan dua anggapan lain: 1) tanda-tanda ikon merupakan tanda-tanda memikat; dan 2) teks-teks sastra memiliki daya pikat lebih besar ketimbang yang lain. Ada teks-teks yang memberikan informasi secara dingin dan hanya berisikan pokok-pokok masalah, dan ada yang memiliki sifat argumentatif. Pada jenis yang pertama, indeksikalitas berperan paling penting, dan pada yang kedua, simbolis yang berperan paling penting.
Di semua teks akan didapati ikonitas, khususnya dalam teks-teks di luar situasi percakapan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam situasi komunitas di mana pengirim dan penerima sama-sama hadir. Sistem-sistem semiotik bahasa lain dapat digiatkan.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin. Dalam sastra gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya hubungan bersifat arbitrer. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. “ibu” adalah simbol. Artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya “mother”. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan kesemena-menaan. Dalam bahasa tanda yang banyak digunakan yakni simbol.
Tanda simbolis yang paling penting dalam teks sastra adalah tanda bahasa. Tanda bahasa adalah tanda yang dihubungkan dengan denotatum berdasarkan kesepakatan. Ini merupakan tanda paling penting, tetapi bukanlah satu-satunya.
            Menurut pendapat Teeuw (1984:145), sulit sekali memisahkan antara bentuk dan isi dalam teks sastra. Suatu bentuk akan bermakna bila dikaitkan dengan isi. Begitu pula sebaliknya, isi hanya dapat ditangkap dan diungkapkan melelui bentuk atau susunan kata-kata yang terpadu.
            McLuhan dalam Teeuw (1984:145) menambahkan bahwa tujuan analisis struktural adalah mengkaji secermat dan sedetail mungkin keseluruhan makna melalui keterpaduan struktur teks secara total.
            Pendapat tersebut didukung oleh Piaget dalam Zaimar (1990:20) yang berbunyi:
Semua dokrin atau metode yang-dengan suatu tahap abstraksi tertentu-menganggap objek studinya bukan hanya sekedar sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan sebagai suatu gabungan unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain, sehingga yang satu tergantung dari yang alain dan hanya dapat  didefinisikan dalam dan oleh hubungan perpadanan dan hanya pertentangan dengan unsur-unsur lainnya dalam suatu keseluruhan. Dengan kata lain, semua dokrin yang menggunakan konsep struktur dan yang mengahadapi objek studinya sebagai suatu struktur. Dapat dianggap bahwa penegretian totalitas dan sikap saling berhubungan adalah ciri-ciri strukturalisme.

Unsur bahasa merupakan bahan utama dalam menghasilkan teks sastra dan
Bahasa dalam semiotika termasuk ke dalam sistem tanda. Menurut Sausurre dalam penelitinya, yang terpenting adalah tanda-tanda linguistik sebab bahasa merupakan sistem tanda yang paling lengkap dibandingkan dengan tanda-tanda lainnya. Melalui unsur bahasalah kita dapat masuk dalam bidang semiotika.
2. Deskripsi Subfokus Penelitian
2.1 Aspek Fonologi
            Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya.
            Dalam puisi irama tercapai dengan variasi secara sistematik pada arus bunyi, sebagai akibat dari pergantian tekanan yang panjang-pendek, kuat-lmah dan tinggi-rendah. Dalam puisi irama tercapai dengan perulangan secara konsisten dan bervariasi dari pelbagai bunyi yang sama. Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan betapa erat hubungan irama dengan bunyi itu.
            Disamping itu perlu dicatat bahwa perulangan bunyi yang cerah yang menunjukkan kegembiraan serta kesenangan dalam puisi  disebut euphony. Biasanya bunyi-bunyi tersebut ialah i, e, a. Kebalikan dari euphony adalah cacophony, yaitu perulangan bunyi yang menuansakan suasana keterkanan batin, berat, mengerikan, kebekuan, kesunyian atau kesedihan. Cacophony biasanya dibentuk oleh vocal-vokal o, u atau diftong au. Bahakan kadangkala cacophony ini dibentuk oleh konsonan, misalnya, t dan k. Peranan bunyi dalam puisi ini meliputi:
a)     Untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas dan kemerduan
b)     Menuansakan suatu makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan skap penyairnya, dan
c)      Menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.

2.2 Aspek Morfologi
             Bidang linguistik yang mempelajari tentang pembentukan kata disebut morfologi. Dalam puisi sering terjadi adanya penyimpanagan-penyimpangan dari system norma bahasa yang umum. Dalam puisi penyimpangan dari system morfologi itu sering terjadi. Maksudnya untuk mendapatkan efek puitis, untuk mendapat ekspresivitas. Untuk mendapatkan kepuistisan atau efek puistis, yaitu untuk mendapatkan irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang lain. Penyimpangan itu berupa penyingkatan atau pemendekan kata, penghilangan imbuhan.
            Pemendekan kata dalam puisi pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Selain pemendekan kata, untuk melancarkan ucapan, untuk membuat berirama.
            Penghilangan imbuhan di samping untuk mendapatkan irama, juga dipergunakan untuk mendapatkan tenaga ekspresivitas dengan hanya mengucapkan yang inti saja.

2.3 Aspek Sintaksis
            Aspek sintaksis merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya dengan aspek-aspek diatas. Sintaksis adalah bagian linguistik yang mempelajari cara-cara mengatur urutan kata dalam membentuk kalimat. Dalam sebuah puisi, kalimat-kalimat memiliki makna dan kesan tertentu. Oleh karena itu, aspek sintaksis akan digunakan pula dalam pembahasan puisi Pembawa Matahari.
            Satuan-satuan sintaksis antara lain adalah frasa, klausa dan kalimat. Frasa adalah kumpulan kata yang memiliki satu fungsi, dan bersifat nonpredikatif. Berdasarkan unsur yang menjadi pusatnya, frasa dibedakan menjadi frasa nominal, frasa verba, frasa adjektiva, frasa pronominal, dan frasa numeralia (KBBI, 1990:244).
            Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subyek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Sedangkan kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang menungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Moeliono, 1988:254).
            Gaya sebuah teks puisi tidak hanya ditandai oleh pilihan kata, tetapi juga oleh panjangnya kalimat, sifat kalimat, dan cara konstruksi kalimat. Kalimat yang pendek dan sederhana memberi kesan yang berbeda dari kalimat panjang yang rumit. Seringkali pola kalimat puisi disusun berdasarkan struktur yang lain daripada struktur sintaksis bahasa yang benar. Hal ini sengaja dilakukan penyair untuk meraih aspek semantik (Hartoko, 1992:192).       Dengan demikian, dalam analisis sintaksis puisi dipandang sebagai strutur bahasa yang terbangun atas kalimat-kalimat dan memiliki kesatuan arti.

2.4  Aspek Semantik
            Semantik adalah bagian dari linguistik yang membicarakan makna kata, untuk menganalisis makna kata-kata digunakan dalam puisi diperlukan pengertian makna kata. Menurut Saussure (1968:404), kata adalah kombinasi dari signifiant (yang mengartikan, bentuk fonetis dari kata) dan signifie (yang diartikan, makna/konsep), sedangkan makna adalah konsep yang timbul dalam pikiran manusia bila mendengar atau membaca suatu bentuk kata. Bentuk kata tersebut mengacu kepada sesuatu di luar bahasa (referen). Hubungan bentuk, konsep, dan acuan digambarkan oleh Pgden dan Richards yang dikutip John Lyons (1968:404) sebagai berikut
                                                            Makna (konsep)
                        Kata  
                                                                      Bentuk                 referen/acuan
            Garis putus-putus di antara bentuk kata dan referen menunjukkan bahwa hubungan di antara keduanya tidak langsung. Bentuk kata dihubungkan kepada referennya melalui makna konseptual yang mempunyai hubungan independen terhadap bentuk kata dan terhadap referen.
            Menganalisis puisi sebenarnya bertujuan untuk menemukan makna puisi. Dengan kata lain, menganalisis sajak adalah usaha untuk menangkap dan memberi makna kepada teks sastra, sebab karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Selain itu karya sastra merupakan sistem tanda yang memiliki makna dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 1995:120).
            Kegiatan yang akan dilakukan dalam analisis aspek semantik ini adalah penelaahan terhadap makna, baik makna denotatif maupun konotatif. Makna denotatif adalah makna yang berbentuk antara tanda dan objek yang diacunya, seperti benda, tindakan peristiwa, perasaan, dan sebagainya.
     Makna konotatif adalah makna kata yang timbul karena reaksi tertentu pada pelaku komunikasi akibat lingkungan, zaman, atau perorangan. Jadi, konotasi adalah aosiasi yang timbul dalam pikiran seseorang terhadap subjek pembicaraan. Makna ini adalah makna tersirat.
Selain penelaahan terhadap makna denotatif dan konotatif, juga akan dilakukan analisis isotopi yang dihasilkan dari komponen makna. Isotopi berasal dari bahasa Yunani isos yang artinya “sama” dan topos yang artinya “tempat”. Konsep ini dikemukakan oleh Greimas. Konsep isotopi merupakan syarat struktural yang diperlukan dalam cara kerja wacana; isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apa pun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Jadi, dalam isotopi makna mencapai keutuhannya, tempat terciptanya tingkatan makna yang homogen. Singkatnya, keutuhan makna wacanalah yang tergantung padanya (Greimas, 1983:78).
            Menurut Greimas (1983:78-81), isotopi terbatas pada tataran isi, jadi termasuk kategori semantis, karena yang dianalisis adalah makna leksikal. Pada hakikatnya bahasa bersifat polisemis, sehingga komponen makna yang sama bisa terdapat pada berbagai kosakata. Itulah sebabnya terdapat redudansi dalam suatu teks. Melalui analisis isotopi dapat ditemukan keseragaman makna yang ada di setiap bagian teks dan hal tersebt dapat menuntuk pembaca ke arah pemahaman yang senada dan dapat memecahkan ambiguitas, apabila ada.
            Analisis isotopi dilakukan untuk mendapatkan motif. Setiap isoopi mendukung suatu motif. Tema ditemukan dari motif yang paling dominan atau dari kaitan antarmotif.
            Hal penting lain yang menandai aspek semantik dalam puisi adalah bahasa kiasan. Menurut Pradopo (1995:61), bahasa kiasan menimbulkan kejelasan gambaran angan, menjadikan puisi lebih hidup dan menarik perhatian. Jenis gambaran angan, menjadikan puisi lebih hidup dan menarik perhatian. Jenis-jenis bahasa kiasan seperti:simile,personifikasi, repetisi, metafora, metonimi, sinekdoki, dan ironi.
            Selain bahasa kiasan, dalam puisi juda terdapat citraan (imagery) atau gambaran-gambaran angan dalam sajak. Citraan adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek. Oleh karena itu, dalam puisi, citraan dapat menimbulkan suasana yang khusus atau untuk membuat hidup gambaran dalam pikiran dan pengindraan. Terhadap beberapa jenis citraan seperti citra penglihatan (visual imagery), citra pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya (Pradopo, 1995:79).

2.5 Aspek Pragmatik        
Pragmatik sebagai suatu telaah makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujaran. Jika dihubungkan dengan semanti, maka makna dalam pragmatik berhubungan dengan pembicara atau pemakai bahasa, sedangkan semantik benar-benar dibatasi sebagai suatu  sifat ekspresi dalam bahasa tertentu (Tarigan, 1987:25).
            Kalau kita mengadakan pendekatan makna seluruhnya dari sudut pandangan pragmatik, ataupun seluruhnya dari sudt pandangan semantik, maka kedua tuntutan di atas tidak tercapai; akan tetapi kita mendekati hasilnya dapat merupakan penjelasan yang memuaskan dengan bantuan kedua kriteria tersebut (Leech dalam Tarigan, 1987:26).
            Pragmatik erat sekali hubungannya dengan tindak ujar atau speech act. Ini dinyatakan dari berbagai pengertian tentang pragmatik antara lain:
a)     Pragmatik menelaah keseluruhan perilaku insan, terutama sekali dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau lambang-lambang. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berprilaku dalam keseluruhan situasi pemberian tanda dan penerimaan tanda (George dalam Tarigan, 1987:32).
b)     Pragmatik adalah telaah mengenai “hubungan tanda-tanda dengan para penafsir”. Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan para penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimay dengan suatu preposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari performansi (Morris dalam Tarigan, 1987:33).
c)      Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain; memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapkan. Jadi pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa mengubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepa (Levinson dalam Tarigan, 1987:33).
Jadi telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar (speech act). Dalam menelaah tindak ujar ini kita harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks ucapan/ungkapan. Teori tindak ujar bertujuan mengutarakan kepada kita, bila kita mengemukakan pertanyaan padahal yang dimaksud adalah menyeluruh atau bila kita mengatakan sesuatu hal dengan intonasi khusus (sarkatis) padahal yang dimaksud justru sebaliknya.
Telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut dengan pragmatik. Teori tindak ujar merupakan bagian dari pragmatik, dan pragmatik itu sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik.
            Ada aspek-aspek yang perlu diperhatikan agar kita dapat memahami suatu situasi ujaran. Aspek-aspek tersebut adalah :
(1)   Pembicara/Penulis dan Penyimak/pembaca
Dalam setiap situasi ujaran haruslah ada pihak pembicara (atau penulis) dan pihak penyimak 9atau pembaca). Keterangan ini mengandung implikasi bahwa pragmatik tidak hanya terbatas pada bahasa lisan tetapi juga mencakup bahasa tulis.
(2)   Konteks Ujaran
Kata konteks dapat diartikan sebagai setiap latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh pembicara (atau penulis) dan penyimak (atau pembaca) serta menunjang interpretasi penyimak (atau pembaca) terhadap apa yang dimaksud pembicara (atau penulis) dengan suatu ucapan tertentu.
(3)   Tujuan Ujaran
Setiap situasi ujaran atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lin, kedua belah pihak yaitu pembicara (atau penulis) dam penyimak (atau pembaca) terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.
(4)   Tindak Ilokasi
Bila tata bahasa menggarap kesatuan-kesatuan statis yang abstrak seperti kalimat-kalimat (dalam sintaksis) dan proporsi-proporsi (dalam semantik), maka pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu. Dalam hal ini pragmatik menggarap bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret ketimbang tata bahasa. Singkatnya, ucapan dianggap sebagai bentuk kegiatan: suatu tindak ujar.
(5)   Ucapan Sebagai Produk Tindak Verbal
Kata ucapan yang dapat dipakai dalam pragmatik, yaitu mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya kepada tindak verbal itu sendiri. Suatu ucapan dapat merupakan suatu contoh kalimat, atau suatu bukti kalimat; tetapi jelas tidak dapat merupakan suatu kalimat. Dalam pengertian ini, ucapan merupakan unsur yang maknanya kita telaah dalam pragmatik. Sesungguhnya secara tepat kita dapat memerikan pragmatik sebagai ilmu yang menelaah makna ucapan, dan semantic yang menelaah makna kalimat. Dengan demikian, pragmatik adalah telaah makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.

B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang struktural-semiotik ini pernah dilakukan oleh Nurhayati yang berjudul “Kajian Stilistika dalam Puisi Rendra”  (1995). Dalam penelitian Nurhayati, kajian stilistika yang dilakukan dalam menganalisis puisi-puisi Rendra melibatkan ciri-ciri linguistik dan ciri-ciri kesasteraan yang memasukkan kajian terhadap struktur batin puisi karena pada hakikatnya sebuah puisi terdiri atas struktur fisik (fokus kajian stilistik) dan struktur batin. Dengan demikian, penelitian ini meliputi kajian terhadap unsur-unsur perimaan, linguistik, diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif dan struktur batin yang diserap melalui tema, perasaan, nada dan amanat. Dari hasil penelitian terhadap puisi-puisi Rendra dapat disimpulkan bahwa kajian linguistik dan kesasteraan saling menunjang dalam menafsirkan dan memahami puisi-puisi Rendra.
Penelitian Shita Dewi Ratih Permatasari yang berjudul “Tema Kesedihan dalam Sajak Priangan Si Jelita karya Ramadhan K.H (2001). Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dalam menganalisis aspek-aspek linguistik yang meliputi aspek irama, bunyi, sintaksis, semantik dan isotopi puisi-puisi Ramadhan K.H menghasilkan bahwa puisi-puisi tersebut mengandung tema kesedihan. Judul kumpulan sajak Priangan Si Jelita yang terkesan indah tersebut ternyata berlawanan makna dengan sajak-sajak yang terkandung di dalamnya.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN


A. Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk:
1)     Mendeskripsikan aspek fonologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi penggunaan/peranan bunyi, dan perulangan bunyi (rima/ritme).
2)     Mendeskripsikan aspek morfologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi imbuhandan pembentukan kata.
3)     Mendeskripsikan aspek sintaksis puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi struktur, jenis kalimat dan fungsi-fungsi gramatikalnya.
4)     Mendeskripsikan  aspek semantik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi isotopi-isotopi yang menghasilkan motif-motif sehingga menimbulkan tema puisi.
5)     Mendeskripsikan  aspek pragmatik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang melipuiti siapa yang berujar, penerima ujaran dan apa yang diujarkan.


B. Metode dan Prosedur Penelitian
Metode yang dilakukan ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan analisis struktural semiotik. Metode deskriptif analitik digunakan untuk memecahkan masalah yang aktual, dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, menggeneralisasikan serta menganalisis dan menginterpretasikan data (Surachmad, 1975:51).
Metode deskriptif adalag metode yang memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta menerangkan hubungan, menguji dan mendapatkan makna dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 1983:63). Pendeskripsian ini diarahkan pada analisis struktural semiotik aspek-aspek linguistik yang terdapat dalam puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M.
Analisis struktural menurut Barthes (1988:221-222) secara metodologis berawal dari linguistik yang akhirnya dikenal sebagai semiotika. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa analisis naratif struktural sama halnya dengan semiologi teks, karena memusatkan kajian pada karya, dalam hal ini mencoba memahami suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dalam karya tersebut dengan suatu cara tertentu.
Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka penelitian ini dimulai dengan analisis struktur sajak sebagai penanda dan dilanjutkan dengan analisis semiotik untuk pemaknaan sajak-sajak.
Menurut Zaimar (1990:20), strukturalisme dan semiotika berkaitan erat. Dengan strukturalisme bisa dicapai pembahasan tentang bentuk tanpa menyentuh bidang interpretasi, sedangkan untuk menyentuh bidang interpretasi digunakan semiotik. Eratnya kaitan strukturalisme dan semiotik dibuktikan oleh lahirnya ahli-ahli semiotik yang berasal dari kaum strukturalisme, seperti Ferdinand de Sausurre dan Charles Sanders Pierce.
C. Data dan Sumber Data
Puisi Abdul Hadi W.M. yang berjudul Pembawa Matahari terbitan bulan April tahun 2002 oleh Yayasan Bentang Budaya. Dari dua puluh delapan puisi yang terdapat dalam kumpulan tersebut, penulis mengambil sepuluh puisi dengan menggunakan teknik purposif, yaitu pengambilan sampel dengan alasan-alasan tertentu. Sepuluh puisi yang dijadikan sampel didasari keragaman struktur sintaksisnya, yaitu puisi yang struktur kalimatnya sederhana dan komplek. Di samping itu pula, didasari oleh panjang dan pendeknya puisi. Ada puisi yang panjangnya terdiri dari beberapa bait dan ada juga puisi yang hanya terdiri dari satu bait saja. Kesepuluh puisi tersebut adalah sebagai berikut.
1)     Ketika Masih Bocah
2)     Kembali Tak ada Sahutan di Sana
3)     Nyanyian Hamzah Fansuri
4)     Doa Ayub
5)     Barat dan Timur
6)     Mimpi
7)     Cinta
8)     Menjenguk Mimpi
9)     Jalan ke Pantai
10) Pembawa Matahari

D.Prosedur Analisis Data
Berdasarkan analisis struktural semiotik, untuk memberikan pemahaman secara mendalam mengenai analisi puisi, maka penulis menggunakan langkah-langkah analisis data sebagai berikut:
1) Aspek fonologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi penggunaan/peranan bunyi, dan perulangan bunyi (rima/ritme).
2)       Aspek morfologi puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi imbuhan dan pembentukan kata.
3)     Aspek sintaksis puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi struktur, jenis kalimat dan fungsi-fungsi gramatikalnya.
4)      Aspek semantik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang meliputi isotopi-isotopi yang menghasilkan motif-motif sehingga menimbulkan tema puisi.
5)     Aspek pragmatik puisi Pembawa Matahari karya Abdul Hadi W.M. yang melipuiti siapa yang berujar, penerima ujaran dan apa yang diujarkan.

DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Arikunto, Suharsimi.1993. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Atmazaki, 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Chaer, Abdul.1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

De Saussure, Ferdinand.1993. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Greimas, A.J.1993. Structural Semantic: An Attempt At A Method. Lincoln, NE: The University of Nebraska Press.

Hadi, Abdul W.M. 2002. Pembawa Matahari: Kumpulan Sajak-Sajak. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hutagalung, M.S. 1998. Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru. Jakarta: Tulila.

Junus, U.. 1981. Dasar-dasar Interpretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia Singapore Hongkong.

Kentjono, Djoko, 1984. Sintaksis: Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta:FSUI.

Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesia Tera.

Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Moeliono, Anton. M (Penyunting). 1988. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotic. Bloomington: Indiana University Press.

Nurhadi (ed.) 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Malang.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.

Pateda, Mansoer.1994. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.

Piget, Jean. 1995. Structuralisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Prodopo, Rachmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi Analisis strata Norma dan analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1995. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Rosidi, ajip. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Schleifer, Ronald A.j. 1987. Greimas and The Nature of Meaning Linguistics, Semiotics and Discourse Theory. Sidney: Croom Helm.

Selden, Raman.1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: angkasa.

Simpson, Paul. 1997. Language Through Literature: An Introduction. London: Routledge.

Slametmulyana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung: N.V. Ganaco.

Subroto, D.E. 1976. “Hakekat Bahasa dan Realisasinya dalam Puisi”. Majalah Bahasa dan Sastra. I. (4) 23-25.

Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: University Indonesia.

Surachmad, Winarno. 1975 Dasar dan Teknik Researh. Bandung: Tarsito.

Suroso. 1995. Ikhtisar  Seni Sastra. Solo: Tiga Serangkai.

Tarigan, Hendry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung:Angkasa.
 Teeuw, A. 1084. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya,

Teeuw, A. 1983. Membaca dab Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzevetan. 1985. Tata Sastra, terj. Okke K. S. Zaimar. Jakarta: Djambatan.

Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiaisi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Zaimar, Okke K.S. 1990. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Seri ILDEP.

Zoest Van Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Erlangga.

Zoest Van Aart. 1993. Semiotika. Jakarta: Sumber Agung.

           
Lampiran:

Puisi 1

              Ketika Masih Bocah

Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut
Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya
Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali
Kulihat matahari menghamburkan sinarnya
Seraya menertawakan gelombang
Yang hilir mudik di antara kekosongan

Sebab itu aku selalu riang
Bermendung atau berawan, udara tetap terang
Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku
Kusaksikan semesta di dalam
Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu

Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat
Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan
Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya
Deru dan kepedihan kukenal
Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku
Selalu ada tempat bernaung jika udara panas
Dan angin bertiup kencang
Tak banyak yang mesti dicemaskan
Oleh hati yang selalu terjaga

Pulau begitu luas dan jalan lebar
Seperti kepercayaan
Dan kukenal tangan pengasih Tuhan
Seperti kukena; getaran yang bangkit
Di hatiku sendiri











Puisi 2

Kembali Tak Ada Sahutan Di Sana

Kembali tak ada sahutan di sana
Ruang itu bisu sejak lama
Dan kami gedor teru pintu-pintunya
Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun
Penuh kebohongan dan terror yang tak henti-hentinya

Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana
Memerah keputusan dan cuaca

Demikian kami tinggalkan panji-panji gemerlap
Itu dan mulai bercerai-cerai
Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya
Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada
Dari generasi ke generasi

Menenggelamkan rumah sendiri
Ribut tak henti-henti

Hingga kutanyakan lagi padaku
Penduduk negeri damai macam apa kami ini
Raja-raja datang dan pergi
Seperti sambaran kilat dan api
Dan kami bangun kota kami
Dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya
Di atas jurang dan tumpukan belulang
Dan yang takut mendirikan menara sendiri
Membusuk bersama sendiri

Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap
Itu dan matahari ‘kan lama terbit lagi



Puisi 3

Nyanyian Hamzah Fanzuri

Tiada yang lebih kurindu selain Dia
Dan mendirikan kemah di padang kehendak-Nya
Menjadikan Dia satu-satunya matahari
Dan hujan bagi bumi kerontang dalam jiwa

Demikian ayat orang asyik masuk bercinta
Tak terikat apa pin selain kungkungan hasrat-Nya
Merdeka berjalan di antara taring ajal dan raung serigala

Puisi 4

Doa Ayub

Kau topan dahsyat
Beratus kali kaupatahkan dayung dan kemudiku
Tapi dalam sekarat kalbuku tambah liat
Dilimpahi beribu tenaga dan zat

Nyala api neraka-Mu yang berkobar-kobar
Merobek dinding dan layar kapal
Dengan napas tersengal-sengal
Kusingkap ratusan tirai
Kejatuhan adalah kebangkitan kembali
Di atas reruntuhan terbangin menara tinggi
Tanpa kuasamu langit dan bumi
Tak bisa menampikku

Lihat ke dada koyak ini
Angin pun dapat membaca kisah yang marak
Dari derita ini pun akan lahir seekor singa
Dan istana-Mu tambah kemilau dalam jiwa


Puisi 5

Barat dan Timur

Barat dan Timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Budha,
Pengikut Zen atau Tao
Semua dalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze
Buddha, Zarahustra, Socrates, Isa Almasih
Nabi Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana


Puisi 6

Mimpi

Aneh tiap mimpi
Membuka kelopak mimpi yang lain,
Berlapis-lapis mimpi, tiada dinding
Dan tirai akhir, hingga kau semakin
Jauh dan semakin dalam tersembunyi
Dalam ratusan tirai rahasia
Membiarakan aku asing pada wujud
Hampa dan wajah sendiri. Kudatangi kemudian
Pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya
Dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian
Di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya
Kucari sosok bayanganku yang hilang
Dalam kegaduhan. Tetap, yang fana
Mengulang kesombongan dan keangkuhannya
Dan berkemas pergi entah kemana
Gelisah, ading memasuku rumah sendiri
Menjejakkan kaki, bergumul benda-benda
Ganjil yang tak pernah dikenal, menulis
Sajak, menemukan mimpi yang lain lagi
Berlapis-lapis mimpi, tiada dinding
Akhir sebelum menjumpai-Mu


Puisi 7

Cinta

Cinta serupa dengan laut
Selalu terikat pada arus
Setiap kali ombaknya bertarng
Seperti tutur dalam hatimu
Sebelum mendapat bibir yang mengucapkannya

Angin kencang datang dari cinta
Air berpusar dan gelombang naik
Memukul hati kita yang telanjang
Dan menyelimutinya dengan kegelapan

Sebab keinginan begitu kuat
Untuk menangkap cahaya
Maka kesunyian pun pecah
Dan yang tersembunyi menjelma

Kau di sampingku
Aku di sampingmu
Kata-kata adalah jembatan
Waktu adalah jembatan
Tapi yang mempertemukan
Adalah kalbu yang saling memandang



Puisi 8

Menjenguk Rumah

Menjenguk rumah di kampung
Yang pantainya riuh dengan pemandangan
Masa kana, angin terdengar selalu
Mengalunkan jeritan aneh
Tapi karib, dan hati bergaduh
Dengan keriangan liar, seakan tak kenyang
Menenggak sari buah tahun-tahun
Dan derita yang akhirnya terperah
Pohon mangga di halaman, tampak
Senantiasa lebat, mengirim cahaya
Dari akar-akarnya yang bekerja keras
Dalam kegelapan tanah, dan dari
Daun-daun serta rerantingnya
Yang tak henti-hentinya berdoa
Mengulang isyarat gaib dari musim tengkuyuh
Ya. Aku pernah tumbuh bersama
Tunas-tunas ini, bersama dahan-dahan barunya
Bersama angin dan curahan air hujan
Berlayar di langit luas keberadaan
Mencari jejak yang membuat kami
Bangkit kembali dari ketiadaan dan kekosongan
Di rumah ini, semua seakan ada
Dalam senyum dan duka ibuku



Puisi 9

Jalan Ke Pantai

Jalan ke pantai dari rumahku
Kecil berkerikil, namun terasa lebar
Duri-duri semak selalu berkisah
Sumur-sumur tak pernah kering
Di tengah ketandusan. Luka
Tak terasa sebagai luka bila tercium
Harum darah kebang-kembang kaktus liar
Dan usia membuang semua usianya
Akar akan kebebasan bangkit kembali
Dan tunasnya menghijau menyikap cakrawala
Apa yang mesti kucemaskan ?
Telah banyak hari-hari kulaluiku
Melalui semak-semak, duri-duri
Melalui jalan ke pantai dari rumahku
Membawa langit, membentang laut
Menuntun anak kepada ibunya
Kelopak-kelopak mawar kepada sari-sari bunga.



Puisi 10

Pembawa Matahari

Piring-piring lokan itu pecah kembali
Membangunkan tubuh cahaya dan si bocah
Muncul lagi di pantai, mendirikan menara
Dari gundukan pasir dan serakan-serakan kerang
Namun segera dijala oleh siang
Dan diterbangkan ke udara

Sore itu aku duduk, membaca buku laut dan gelombang
Mendengarkan kisah dari jauh namun dekat
Bendera perang hampir kumal
Dan jarum hari mulai menjahit sepi
Membentangkan malam

“Selamat tinggal Ahmas!” seru sebuah suara
“Berapa anakmu sekarang Leila?” kata yang lain
“Kiambang-kiambang bertaut di sungai dan hanyut mengisahkan nasib kita
Kemudiku selalu patah, selalu patah
“Namun rumah senantiasa indah
Senantiasa indah

Nyanyian-nyanyian tak semerdu dulu lagi
Tapi masa kanak-kanakku memasang lagi telinganya

Hingga percakapan-percakapan butir pasir bisa terdengar
Bersama kegaiban ratusan malaikat
Dan dalam rongga kecilnya yang berkaca-kaca
Kutemukan semesta yag juga ada dalam diriku

Di sanalah rumahku, kata si bocah
Dalam kemilau embun, di pangkuan sunyi
Di lubuk kecemasan yang senantiasa gelisah
Dalam keluasan ke mana ombak selalu berbenah

Tak kuperlukan lagi pintu dan jendela dunia kini
Tak kuperlukan lagi jalan pulang

Semua ada di sana seperti jantera dan benang tenunnya
Kemudian si bocah pulang
Membawa matahari
Dan esoknya datang lagi
Membawa matahari